Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Jumat, 19 Oktober 2012

Asyiknya Mengunjungi Kediaman Presiden Perancis

Siapa yang tidak ingin bisa mendatangi kediaman dan kantor Presiden Prancis, apalagi jika yang menyambut Presiden sendiri? Mendatangi bangunan warisan budaya negara, yang biasanya tertutup untuk masyarakat umum, namun selama dua hari dibuka secara cuma-cuma alias gratis.

Setahun sekali di Perancis dan beberapa negara Eropa lainnya diadakan hari warisan budaya, di Perancis dinamakan journée patrimoine. Di Perancis, kegiatan budaya ini telah berlangsung sejak tahun 1984 yang diresmikan oleh Menteri Kebudayaan Perancis, Jack Lang.
Di Eropa sendiri, kegiatan terbukanya pintu bangunan warisan negara ini, mulai berlangsung sejak 21 tahun yang lalu. Akhir pekan di bulan September biasanya yang dipilih. Pada hari Sabtu dan Minggu itu, publik diberi kesempatan mendatangi beberapa tempat, bangunan bersejarah peninggalan para leluhur secara gratis.
Di Perancis, hal ini dilakukan di setiap kota. Di Paris, misalnya, yang menjadi incaran publik adalah tempat kediaman Presiden Perancis. Pengunjung yang datang dari berbagai pelosok daerah bahkan ada yang datang dari negara lain. Pasalnya pada hari istimewa itu, yang menyambut para pengunjung bukan orang sembarangan, melainkan perdana menteri perancis di hari pertama dan tentunya yang paling dinantikan adalah sang presiden di hari kedua!
Kunjungan unik seperti itu memang selalu menjadi impian banyak masyarakat. Namun sayangnya, karena unik maka tiket yang diberikan kepada pengunjung yang datang pun terbatas. Hal ini tentu saja bisa dimaklumi, karena pengaturan dalam penataan ketertiban para pengunjung dan sistem keamanan haruslah tetap dijaga.
Tahun ini hari warisan budaya Eropa berlangsung pada 15 dan 16 September. Karena terbuka di belahan Eropa maka, banyak yang menggunakan kesempatan ini sebagai akhir pekan berwisata ke negara lain.
Di Elysée misalnya, yang mengantre bukan hanya penduduk Paris saja, ada yang datang satu kota dengan saya, yaitu Montpellier. Mereka berangkat dini hari dengan kereta hanya untuk mendapatkan tiket gratis mengunjungi kediaman dan kantor Presiden Prancis. Beruntung, mereka mendapatkannya.
Selain bisa melihat beberapa bagian dari Elysée, kita juga berhak mendapatkan kenang-kenangan berupa foto depan gedung presiden tersebut, mantap kan! Kenangan indah yang bisa terukir secara gambar dan juga di hati.
Sebenarnya jangankan di ibu kota tiap negara di Eropa yang banjir dengan lautan pengunjung. Kota-kota lainnya pun ikut ramai sebagai ajang pertemuan antara masyarakat untuk menyibak sebuah tempat, seperti gereja, bangunan milik pemerintah, gedung kehakiman hingga tribunal pengadilannya, universitas negeri seperti, kedokteran, seni, hukum dan masih banyak lainnya bangunan yang kita bisa kunjungi pada dua hari tersebut.
Di Montpellier saja, misalnya, banyak orang yang tak bernasib untung karena kehabisan tiket mendatangi obyek milik pemerintah berupa peninggalan bersejarah yang hanya dibuka setahun sekali untuk umum. Pasalnya, ada beberapa tempat tertentu, yang hanya memperbolehkan sekitar 200 orang untuk mendatanginya, demi menjaga kelestarian tempat tersebut.
Yang kami incar di kota saya tinggal adalah Fakultas Kedokteran Montpellier. Kenapa? Alasannya, akademi ini sangat tersohor. Fakultas kedokteran Montpellier merupakan salah satu Fakultas Kedokteran tertua di dunia dan masih digunakan hingga saat ini. Selain itu fakultas ini juga merupakan fakultas pertama kedokteran yang dibangun di Perancis.
Fakultas Kedokteran ini memiliki koleksi anatomi tubuh tertua di dunia serta untuk pertama kalinya diadakan bedah mayat bagi para mahasiswa dalam ruangan amphithéâtre (amfiteater).
Gedung Fakultas Kedokteran Montpellier bersatu dengan gereja karena zaman dulu penyembuhan selalu berhubungan dengan agama.
Karena masuk ke dalam fakultas ini tak menggunakan tiket, dalam arti dibuka untuk umum dari pukul 09.00 hingga pukul 18.00 maka antrean pun terlihat panjang, khususnya mereka yang ingin masuk ke dalam museum anatomi tubuh yang hanya dibuka setahun sekali untuk umum. Para mengunjung rela menunggu selama satu jam untuk melihat berbagai koleksi.
Saya dan keluarga sengaja datang pukul 9 pagi untuk mengunjungi museum anatomi dan Fakultas Kedokteran terkemuka itu. Beruntung kami hanya mengantre sekitar 15 menit. Si bungsu, yang kami kira akan ketakutan melihat koleksi tubuh yang diawetkan, malah terkagum-kagum. Padahal, yang dipajang benar-benar membuat reaksi wajah bisa berubah dari kaget hingga ngeri. Bayangkan melihat beberapa potong bagian tubuh yang telah diawetkan, bahkan ada yang diawetkan dalam botol-botol.
Saking banyaknya tempat yang dibuka untuk umum, kami pun harus pintar-pintarnya memilih mana yang akan menjadi tujuan di hari pertama journée patrimoine itu. Akhirnya Museum Arkeologi yang menjadi pilihan kedua. Karena kedua anak kami penasaran ingin melihat peninggalan Zaman Romawi yang ditemukan saat penggalian trem di kota kami tahun 2000 lalu.
Biasanya saat kita melewati sebuah bangunan milik pemerintah atau tempat lainnya yang tak memungkinkan bagi orang umum masuk, sering terlintas dibenak, kira-kira seperti apa ya dalamnya? Sehari-hari melihat gambar gedung presiden hanya lewat media, siapa tidak senang kalau diberi kesempatan untuk mendatangi secara langsung.
Apalagi berkunjung ke ruangan senat para wakil rakyat melakukan rapat serta mengambil keputusan atau mendatangi tempat hasil penemuan bersejarah, yang saking rentannya, hanya bisa dikunjungi setahun sekali. Bukankah suatu hal yang tak boleh dilewatkan? Karena pengalaman tersebut, menurut saya adalah pengalaman unik, yang tak setiap orang mendapatkan kesempatan tesebut, karena keterbatasan waktu.
Bagi saya Perancis tempat saya kini bermukim adalah negara maju. Namun pemerintahnya masih menaruh perhatian kepada penduduknya dengan memberikan kekayaan berupa ilmu budaya sejarah, secara gratis. Memberikan kesempatan kepada masyarakatnya agar setidaknya setahun sekali bisa melihat dari dekat warisan sejarah mereka. Memberikan ilmu masih merupakan hal yang utama, demi kekayaan pikiran bangsanya sendiri.
Saya jadi bertanya mungkinkah hal seperti nantinya bisa diterapkan di negara saya tercinta, Indonesia? (DINI KUSMANA MASSABUAU/Kompas.com)

Tidak ada komentar: